(Catatan Refleksi Perayaan Purple Day2024)
OPINI - Hari Epilepsi Sedunia atau Purple Day yang baru saja dirayakan 26 Maret lalu, menegaskan kembali bagaimana perjuangan para penyandang epilepsi atau Orang Dengan Epilepsi (ODE) dalam menghadapi stigma negatif di tengah masyarakat.
Stigma ini bagaikan kabut pekat yang menyelimuti kehidupan mereka, membatasi peluang dan menggerogoti rasa percaya diri akibat prasangka, ketidaktahuan dan ketakutan dari masyarakat yang masih minim literasi kesehatan.
Di sekolah, Anak dengan Epilepsi (ADE) masih sering dikucilkan, dijauhi teman, bahkan dirundung karena kondisi kejang yang mereka alami. Hal ini dapat menyebabkan depresi, kecemasan dan rendahnya prestasi akademis mereka.
Di dunia kerja, ODE dihadapkan pada diskriminasi dalam perekrutan dan promosi jabatan. Ketakutan akan kejang di tempat kerja menjadi alasan bagi banyak perusahaan untuk menutup peluang kerja bagi ODE. Stigma ini juga merembet ke kehidupan pribadi, di mana ODE sering ditolak dalam pernikahan karena dianggap sebagai "pasangan yang kurang ideal" atau berpotensi melahirkan anak dengan Epilepsi.
Stigma ini bukan hanya ilusi, tapi memiliki dampak nyata yang merugikan ODE. Survey mini yang dilakukan oleh Komunitas Epilepsi Indonesia (KEI) yang beranggotakan 15 ribu member menunjukkan bahwa mayoritas ODE mengalami "diskriminasi" di berbagai aspek kehidupan. Stigma ini bagaikan belenggu yang menjerat mereka, menghambat potensi, produktivitas dan kebahagiaan mereka.
Baca juga:
Air Mata Palestina, Air Mata Kita
|
Lantas, bagaimana cara kita mematahkan belenggu Stigma ini?
Pertama, edukasi adalah kunci utama. Masyarakat perlu di edukasi tentang apa itu epilepsi, apa jenis dan penyebabnya, bahwa epilepsi bukan penyakit menular ataupun kutukan, dan dapat dikontrol dengan pengobatan yang rutin hingga ODE bisa bebas kejang. Kampanye dan edukasi melalui media massa, sekolah, dan komunitas dapat membantu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang epilepsi serta membangun empati sejak dini.
Baca juga:
Ernest, Apa itu Dunguh?
|
Kedua, peran media sangatlah penting. Berbagai media perlu memberitakan informasi yang akurat dan positif tentang epilepsi, dan menghindari penggambaran yang keliru dan menakutkan. Contoh paling ringan adalah mengedukasi masyarakat untuk tidak lagi menggunakan kata "Penderita Epilepsi" dan menggantinya dengan frase "Penyandang Epilepsi" untuk merujuk Orang Dengan Epilepsi (ODE). Platform media sosial dapat menjadi agen perubahan dalam memerangi stigma di tengah masyarakat karena potensi penyebaran informasinya dapat dilakukan secara masif mengingat masyarakat Indonesia memiliki kemudahan mengakses media ini.
Ketiga, diperlukan dukungan dari pemerintah dalam bentuk kebijakan dan program yang melindungi hak-hak ODE. Pemerintah dapat menyediakan akses pendidikan dan pekerjaan yang setara bagi ODE, serta memastikan mereka mendapatkan pengobatan yang optimal tanpa terkecuali.
Baca juga:
Gamawan Fauzi: Semua Ada Akhirnya
|
Keempat, Pelatihan bagi Profesional seperti Dokter, Perawat, Fisioterapis, Guru, Dosen, Pemberi Kerja. Sebagai profesi yang bersentuhan langsung dengan penyandang Epilepsi, mereka harus mendapatkan pelatihan khusus untuk merespon dan mengatasi kebutuhan ODE dengan lebih baik dan mendukung inklusifitas mereka pada aspek bio-psikososial-ekonomi-nya.
Kelima, peran keluarga dan orang terdekat sangatlah penting. Dukungan dan kasih sayang dari orang-orang terdekat dapat membantu ODE dalam menghadapi stigma, memberikan support dalam pengobatan panjang dan menjalani hidup yang normal serta mengembangkan potensi diri dan cita-cita yang ODE ingin raih di masa datang.
Terakhir, mari kita jadikan Hari Epilepsi Sedunia ini sebagai momentum untuk mematahkan belenggu stigma. Mari kita ciptakan masyarakat yang inklusif dan ramah bagi ODE, di mana mereka dapat hidup tenang, penuh potensi dan membina keharmonisan dalam hubungan.
Selamat Hari Epilepsi Sedunia!